Guruh Soekarno Putra.
Lebih Dikenal sebagai Seniman dan Budayawan Ketimbang Politikus
Siapa yang tak kenal Guruh Soekarno Putra, jiwa nasionalisme dan nama besar Bung Karno sebagai Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, cukup mendarah daging dalam diri bungsu lima bersaudara ini. Bangga menjadi anak sang Proklamator, membuat Guruh merasa bertanggung jawab untuk menuangkan segala kemampuan, gagasan, dan pemikirannya demi kemajuan bangsa Indonesia.
“Keimanan dan falsafah hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila, karena sifatnya yang universal. Selain itu Pancasila adalah rahmat dan hidayah dari Tuhan yang Maha Kuasa,” ujar Guruh dengan lantang ketika dipercaya menjadi pembicara pada seminar bertajuk “Pancasila Ditengah Globalisasi” bertempat di German Centre kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang beberapa waktu lalu. Seperti yang telah diagendakan, Guruh yang kala itu mengenakan kemeja lengan panjang bermotif batik, ditemani beberapa staf pribadinya, bersedia meluangkan waktu untuk berbincang bersama Realita.
Bapak Ideologis. Pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, memang benar adanya. Inilah sedikit gambaran mengenai jiwa patriotisme dengan nilai pancasila yang turut tertanam dalam batin seorang Guruh Soekarno Putra. Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kenegaraan, membuat Guruh tumbuh menjadi pribadi yang berjiwa patriotisme.
Secara pribadi, Guruh bangga membawa nama besar Bung Karno. Guruh pun beranggapan bahwa Soekarno selain sebagai bapak biologisnya, juga sebagai bapak ideologisnya. Bahkan Bung Karno dianggap Guruh lebih dari sekadar orang tua. Bisa dibilang, baginya Bung Karno adalah sebagai guru dan pemimpinnya dalam membentuk pola pikir berbangsa dan bernegara. “Untuk itu saya akan meneruskan cita-cita Bung Karno dengan ajarannya beserta asas manfaatnya, yang berguna bagi seluruh umat manusia,” tandas Guruh yang lagu-lagunya abadi seperti Melati Suci, Puspa Indah Taman Hati, dan Anak Jalanan.
Selain aktif dan dikenal dalam bidang seni dan budaya, secara pribadi, Guruh yang juga menjabat sebagai ketua umum Yayasan Bung Karno dan Ketua umum Gerakan spirit Pancasila juga turut melakukan langkah politik taktis dan praktis. Baginya, berbangsa dan bernegara adalah menerapkan ajaran Pancasila dan Marhaenisme, maka dengan pegangan itulah dirinya turut berperan serta untuk memperjuangkan Indonesia, dalam mewujudkan cita-cita proklamasi.
Gerakan spirit Pancasila dalam kegiatannya sendiri adalah mensosialisasikan Pancasila pada generasai muda. Pasalnya, banyak generasi muda saat ini yang tidak mengerti akan apa arti sebenarnya dari Pancasila itu sendiri. Yang diketahui hanya sekadarnya saja. Bagi Guruh, hal tersebut merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang nantinya berujung pada sebuah kehancuran. Apalagi sifat dari keaslian Pancasila itu sendiri sudah terkontaminasi dengan iklim ideologi orde baru yang tertanam.
Seniman dan Budayawan. Meski begitu, Guruh justru lebih dikenal sebagai seorang seniman dan budayawan yang selalu berhasil dan memberikan respon positif dalam setiap pagelaran dan hasil karyanya. Penghargaan yang diterima baik dalam takaran tingkat nasional maupun internasional pun mungkin sudah tak terhitung banyaknya. Setiap hasil karyanya bisa dipastikan mewakili nama bangsa dan membawa harum nama bangsa di kancah internasional. “Banyak yang mengenal saya sebagai seniman dan budayawan, sesungguhnya tidaklah demikian karena saya juga terlibat dalam aktivitas politik. Semua ini bisa terjadi karena pembentukan karakter yang dibuat dan diciptakan oleh mass media,” papar pimpinan Swara Mahardika ini.
Baginya seni dan budaya bukanlah sebuah asas perjuangan, tetapi suatu lagkah taktis untuk bisa bermain di ranah politik, karena Politik Praktis sendiri bisa saja dilakukan dalam berbagai hal dan bidang. “Sisi baiknya, saya memang dikenal sebagai seniman profesional. Buat saya itu tak menjadi masalah, karena seni itu sendiri seperti orang bernapas. Rasa seni adalah menyenangi dan mendorong untuk menciptakan sesuatu yang indah. Sementara orang selalu memilah-milah, dan berpersepsi seolah kegiatan seni itu jauh dari yang namanya politik. Padahal, semuanya bisa menyatu dalam kehidupan. Politik itu mencakup banyak segi. Pemahaman kita tentang kenegaraan, kewarganegaraan, kebijakan, sikap kita sebagai bangsa, sikap suatu negara pada bangsa dan negara lain. Kita punya banyak masalah, harus diperjuangkan. Itulah alasan saya terjun ke politik, untuk bersama-sama berjuang,” jelas suami dari Gusyenova Sabina Padmavati itu.
Bicara soal jiwa seni adalah sebuah anugerah yang dipupuk dan dibentuk dalam tatanan lingkungan kepresidenan kala itu. “Bapak itu Presiden yang juga sekaligus sebagai penikmat seni. Beliau adalah pengumpul lukisan dan benda seni. Selain itu bapak juga dapat melukis, menciptakan tata tari, lagu, dan banyak cabang seni. Demikian juga yang terjadi dengan ibu yang juga pandai menari, main musik, mencipta lagu, dan menyanyi,” terang Guruh bicara soal bakat seninya yang ternyata merupakan bakat turunan dari kedua orang tuanya.
Jadi wajar jika Guruh belajar berbagai macam tari seperti tari Jawa, Bali, Sunda, Sumatera, bahkan Barat. Di usianya yang kelima tahun pun Guruh juga sudah mempelajari tari Bedoyo dan spiritual Jawa yang didapat dari Laksmito Rumi, istri Paku Buwono X. Belajar tari Bali dibimbing Agung Mandra, I Wayan Diya, dan I Gustri Kompyang Raka. Belum lagi angklung, gamelan Jawa dan Bali. Piano dikuasai secara otodidak sejak kelas 5 SD, sementara Ismail Marzuki dan Mochtar Embut andil dalam bimbingan teori dan komposisi musik. Namun semua itu bukanlah untuk kesenangan dan kepentingan pribadi. Hasil latihan tiap hari selepas Maghrib itu dipertunjukkan bersama para kakak, Guntur, Mega, Rachma, dan Sukma, di hadapan para tamu negara di istana. Bakat seni yang mengalir dalam darah Guruh membuatnya bisa mencari tambahan dengan mengajar gamelan, tari Bali, hingga membuat pertunjukan seni.
Jiwa seninya berkembang dengan cukup pesat dan mengagumkan, maka tak heran seiring dengan berjalannya waktu, di kemudian hari Guruh mendirikan sebuah sanggar seni Swara Mahardika dibawah bendera PT Kinarya Gencar Semarak Perkasa alias GSP Production. Selain itu yang terpenting bagi Guruh, budaya dianggap sebagai aset yang berharga sehingga harus dijaga kelestariannya. Jangan dibiarkan punah agar tidak tergeser dan terpengaruh oleh serapan budaya asing yang begitu kuat merasuk saat ini. Gilbert
Tidak ada komentar:
Posting Komentar