Dwi Krismawan, Koordinator Marketing Iklan dan Sirkulasi Harian Seputar Indonesia
Diselamatkan Tuhan dari Kecelakaan Pesawat Saat Berlatih
Menjadi seorang pilot merupakan cita-cita Dwi Krismawan sejak kecil. Itulah yang membuat Dwi tidak lantas menyerah ketika gagal saat pertama kali ikut test pendidikan pilot. Hingga akhirnya pada tahun 1996 Dwi bisa lulus test dan diterima sebagai siswa di PLP Curug, Bogor. Tapi sayang, tiga bulan menjelang wisuda, Dwi mengalami kecelakaan maut saat membawa pesawat terbang bermesin tunggal. Apa daya, impiannya pun kandas di tengah jalan. Meski begitu Dwi sangat bersyukur bahwa dirinya bisa selamat dari kecelakaan maut tersebut. Bagaimana kisah selengkapnya?
Tahun 1996, mungkin merupakan tahun yang paling membahagiakan bagi seorang Dwi Krismawan. Di tahun itulah impiannya untuk menjadi seorang pilot akhirnya bisa diwujudkan. Saat mengikuti test Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) di Curug, Bogor, Dwi diterima sebagai salah satu siswanya. PLP sendiri merupakan tempat pendidikan untuk menciptakan seseorang menjadi pilot pesawat terbang komersil. Tidak mudah memang untuk bisa masuk ke sana, butuh perjuangan yang berat, apalagi PLP Curug ini berlaku untuk seluruh Indonesia. Ini tentunya merupakan hal yang paling membanggakan bagi Dwi. Apalagi empat tahun sebelumnya (1992) Dwi sempat mengikuti test yang sama namun harus gugur di tengah jalan.
Kalah dalam test pertama tidak membuat dirinya patah semangat. Sambil menunggu dibukanya kembali pendaftaran untuk bisa masuk menjadi siswa di PLP Curug Bogor, Dwi kembali pulang ke Bali dan diterima bekerja di perusahaan penerbangan Sempati Air milik Humpuss. Ia ditempatkan di bagian ground handling. Bekerja di perusahaan penerbangan membuat semangatnya untuk bisa mengendalikan pesawat terbang semakin berkobar. Inilah yang membuat Dwi kembali mengikuti test yang kedua di tahun 1996. Saat itu Dwi berada diantara 75 orang yang diterima, dari 2500 orang yang mendaftar. ”Selain karena tertarik dengan kecanggihan pesawat terbang, dengan menjadi seorang pilot, saya ingin membantu perekonomian keluarga dan mengubah nasib keluarga,” ujar Dwi yang saat itu masih berusia 24 tahun dan berasal dari keluarga yang sangat sederhana.
Sebagai anak laki-laki Dwi merasa bertanggung jawab penuh dalam hal yang satu ini. Sebab sedari kecil, Dwi bersama dua saudaranya memang hidup dalam kesederhanaan. Ayahnya hanyalah seorang PNS biasa di BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) di Bali, sementara ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa.
Tanggal 17 Januari 1996, Dwi memulai hari-harinya sebagai siswa di PLP Curug, Bogor. Metode pendidikan yang diterimanya kala itu tak jauh berbeda dengan pendidikan di AKABRI. Di sana ia banyak mendapat gemblengan baik secara fisik maupun mental. Secara bertahap, Dwi bersama siswa lain seangkatannya mulai diajarkan teori tentang mesin pesawat terbang sampai belajar praktek membawa pesawat terbang.
Alami Kecelakaan Maut. Satu tahun lamanya Dwi mengikuti pendidikan di Curug, Bogor. Rencananya, pada bulan April 1997, Dwi akan segera diwisuda dan langsung menjadi pilot di maskapai penerbangan Garuda. Namun, tanpa pernah terbayangkan oleh Dwi, 3 bulan menjelang wisuda yaitu Januari 1997, suatu peristiwa yang mengubah keseluruhan jalan hidupnya pun terjadi. Tepatnya pada 28 Januari 1997. Pukul 06.00 pagi WIB, Dwi melakukan test penerbangan (flight test) bersama instrukturnya, Sigit Hani, menggunakan pesawat FG10 yaitu pesawat bermesin tunggal.
Tepat pada pukul 06.30, Dwi dan Sigit melakukan start engine, kemudian terbang sekitar pukul 07.00. Saat itu, sebagai instruktur, Sigit hanya bertugas untuk mengawasi Dwi demi keamanan. Ketika itu Dwi merasa secara teori penerbangan, dirinya sudah melakukan semua sesuai prosedur dengan pantauan sang instruktur. Saat itu posisi terbang persis berada di kota Jasinga, Bogor. Tak jauh dari posisinya, ada gunung gede. Di sebelah kanan kiri, terlihat rel kereta api dan sungai. Saat itu dirinya terbang dengan ketinggian 2000 feed sesuai dengan standar prosedur yang ada.
Ketika itu, sang instruktur memerintahkan untuk membuat sedikit manuver ke kiri dan ke kanan dalam hitungan derajat. ”Padahal sebelum melakukan circle waktu itu saya selalu katakan pada instruktur saya, apakah area yang saya lampaui itu ”all clear” artinya posisi terbang saya dalam jangkauan terbang bisa dikatakan area yang aman. Waktu itu instruktur saya mengatakan semuanya dalam keadaan aman,” ujar Dwi.
Baru sekitar tiga kali melakukan exercise circle, tiba-tiba sang instruktur berkata ”I help control” dalam artian, kontrol kendali pesawat yang tadinya dipegang Dwi diambil alih oleh instruktur. ”Setelah kendali saya lepas, instruktur saya yang gantian pegang kendali, maka tutup kepala pun saya buka. Ternyata pesawat yang kami tumpangi sudah masuk di dalam awan yang sangat pekat. Tidak terlihat apa-apa lagi, yang terlihat hanyalah gumpalan awan putih,” cerita Dwi.
Ketika menengok ke kanan, mereka seperti melihat ada celah awan yang bisa dilewati. Pada saat pesawat dibelokkan ke kanan, terlihat seperti warna hijau, coklat, dan hitam. ”Waktu itu saya berpikir kalau hijau itu adalah gunung, karena sebelum terbang saya ingat didekat posisi kami terdapat gunung. Saya pun langsung teriak, awas mas di depan ada gunung,” tambah Dwi. Karena jarak dengan gunung yang sangat dekat sementara kecepatan pesawat tinggi, mereka pun tidak sempat menghindar. Akhirnya, pesawat yang ditumpangi Dwi menabrak pohon besar yang berada di sekitar punggung gunung.
Setelah itu, Dwi pun tidak sadarkan diri. Begitu sadar, kondisi pesawat sudah dalam keadaan hancur berantakan. Bahan bakar bocor dan masuk ke dalam kokpit. Sementara di kokpit ada percikan api maka otomatis membuat pesawat langsung terbakar habis. ”Saya masih ingat dengan jelas, di mana ketika itu api yang sangat panas sekali mengelilingi depan dan belakang saya. Saya mau cabut seatbelt ternyata tidak bisa. Saya pun kembali pingsan. Setelah tersadarkan lagi dan saya kembali mau cabut seatbelt, namun saya sudah tidak kuat lagi,” urai Dwi mencoba mengenang kejadian itu kembali.
Waktu itu yang terucap dari bibirnya hanya, ”Tuhan tolonglah saya.” Kata-kata itu terus diucapkan Dwi hingga berkali-kali. Setelah itu Dwi kembali mencoba untuk menarik seatbelt sekuat-kuatnya, dan barulah bisa terlepas sehingga Dwi bisa keluar dari pesawat dengan cara berguling-guling. ”Saya sendiri tidak tahu kalau badan saya waktu itu sudah terbakar. Yang saya tahu hanyalah banyak darah yang keluar dari sekujur tubuh saya, rasanya memang sangat panas dan kering sekali tenggorokan saya,” tutur ayah satu anak ini seraya berkata bahwa sang instruktur juga bernasib sama seperti dirinya.
Butuh waktu sekitar 1,5 jam lamanya untuk Dwi bisa melepaskan diri dari dalam kokpit pesawat. Beruntung 8 jam kemudian (pukul 3 sore) tim SAR menemukan Dwi dan langsung dievakuasi ke RS Siloam Gleneagles, Karawaci, Tangerang. Dwi harus menjalani 15 kali bedah konstruksi transplantasi kulit untuk mengembalikan bentuk kulit tubuhnya yang rusak. Dwi pun harus dirawat secara intensif di rumah sakit.
Setelah mengalami musibah yang sangat parah, dan luka bakar yang cukup serius, membuat rupa dan sekujur tubuh Dwi mengalami cacat permanen. Kepalanya tidak lagi bisa ditumbuhi rambut, bulu mata dan alis hilang, kedua kelopak mata tidak lagi sempurna, dan bahkan kedua daun telinga hilang. Selain itu, jari-jari tangan Dwi juga mengalami kontraktur (kekakuan) karena terbakar. Kedua siku tangan atau tulang rawannya yang juga terbakar membuat sikunya tidak bisa lagi digerakkan seperti semula. Gilbert
Hampir dua tahun lamanya setelah kecelakaan, Dwi menghabiskan hari-harinya dengan keadaan yang sangat menyakitkan. Dwi mengalami putus asa, down, hilang harapan, dan tidak percaya diri karena merasa sudah tidak punya masa depan lagi. Kala itu Dwi berpikir dirinya tidak akan lagi bisa menjadi manusia yang berguna. Beruntung, Tuhan menghadirkan seorang penolong yang amat sangat berarti untuk menopang kehidupan Dwi selanjutnya. Dialah, Bethania, seorang wanita cantik yang saat ini telah menjadi istrinya dan memberi seorang putra bernama Gabriel Fredrich Laurence (6).
Perkenalan mereka sendiri terjadi di Bali, ketika Bethania yang saat itu tercatat sebagai seorang mahasiswi pada STT Jakarta sedang melakukan studi PKL-nya di Bali tahun 1995. Dwi sendiri saat itu aktif melakukan pelayanan seperti mengajar sekolah minggu dan remaja di GPIB Eklesia Bali. Melalui perkenalan singkat, ternyata hubungan mereka berlanjut sampai ke Jakarta saat Dwi menjalani pendidikan pilot tahun 1996.
Satu hal yang luar biasa bahwa ketika impian dan masa depan Dwi hancur, bahkan ketika sedang dirawat di rumah sakit, Bethania, sang kekasih yang belum lama dikenalnya itu tidak pernah sedikitpun meninggalkan Dwi. Bethania terus memberikan support pada Dwi untuk tetap bersemangat. Kendati kedatangannya ke rumah sakit selalu mengalami penolakan dari kedua orang tua dan keluarga Dwi. Saat itu mereka menganggap kehadiran Bethania hanyalah sebagai malapetaka dan pembawa sial. Namun hal tersebut tidak sedikitpun mengurangi perasaan cinta Bethania terhadap Dwi. Bahkan tak henti-hentinya Bethania berdoa dan berserah pada Tuhan demi kesembuhan Dwi .
Hingga pada akhirnya, 17 Juli 1999, dua tahun setelah kecelakaan, mereka memutuskan untuk menikah meski tanpa restu orang tua masing-masing. ”Dalam kondisi fisik saya yang seperti itu, sebenarnya bisa saja Bethania meninggalkan saya. Tetapi ternyata ketidaksempurnaan fisik saya tidak mempengaruhi tulus cintanya. Saya sangat bersyukur Tuhan menganugerahi saya pendamping hidup yang sangat luar biasa,” ucap Dwi.
Ternyata setelah menikah masalah tidak pernah berhenti menimpa Dwi, apalagi saat itu Dwi tidak mempunyai pekerjaan lagi. Usahanya untuk kembali melamar kerja selalu saja mendapat penolakan. Fisik yang tidak lagi sempurnalah alasannya. Departemen Perhubungan yang harusnya bertanggung jawab, juga menolak Dwi untuk bisa kembali bergabung didalamnya. Semua penolakan yang dialami membuat Dwi kembali down dan kehilangan harapan.
Untuk bisa bertahan hidup, Dwi hanya mengandalkan sisa-sisa uang yang didapat dari asuransi. Beruntung ketika mendapat uang asuransi, Dwi sempat membeli rumah yang kemudian dijual untuk modal usaha beternak ayam di daerah Pamulang. Tapi sayang usahanya juga tidak membuahkan hasil. Menjelang masa panen, Dwi harus kembali menerima kenyataan pahit karena ditipu rekan bisnisnya.
Sebagai manusia biasa, Dwi pun sempat marah dan kecewa pada Tuhan, ia merasa ketika dirinya berusaha setia dalam melayani Tuhan, malah masalah yang datang. Namun Dwi sadar bahwa untuk memahami rencana Tuhan itu sulit dan semuanya butuh proses yang panjang. ”Saya sendiri baru bisa memahami rencana Tuhan belakangan ini,” urai Dwi bijak. Gilbert
Sempat Ingin Bunuh Diri Namun Disadarkan oleh Orang yang Juga Terluka Bakar
Sebagai manusia biasa, Dwi sempat stres menghadapi segala permasalahan yang menimpanya. Uang habis, hutang banyak, dan belum lagi cemoohan orang. Banyak orang yang mengatakan bahwa dirinya merupakan pembawa masalah dan kesialan pada keluarga dan tidak lagi berguna untuk hidup. Rasa kecewa dan putus asa pun selalu menghinggapinya. Yang dirasakan Dwi saat itu adalah hidup seakan tak pernah lepas dari kungkungan masalah.
Rasa kecewa, putus asa, dan hilang harapan yang sangat mendalam, sempat membuat Dwi ingin segera mengakhiri hidupnya. Selama seminggu Dwi meninggalkan anak dan istri, pergi dari rumah dengan berjalan kaki tanpa arah dan tujuan yang jelas. Perjalanan Dwi kala itu sampai ke propinsi Lampung. ”Saya berharap ketika saya berjalan saya ditabrak mobil dan mati. Saya mau jalan ke daerah yang saya tidak tahu dan saya bisa mati di tempat tersebut tanpa harus merepotkan orang lain,” kata Dwi mengenang rasa putus asa yang pernah menimpanya kala itu.
Ternyata dibalik rasa keputusasaan yang dialami Dwi, Tuhan menuntunnya ke suatu tempat untuk kembali dari Lampung ke Jakarta. Suatu kali dirinya mampir ke daerah Tanjung Priuk. Sekitar jam 2 pagi, Dwi masih sempat berpikir dan berkeinginan untuk mengakhiri hidup dengan menceburkan diri ke laut. Ketika ingin melakukan hal tersebut, Dwi ditepuk oleh seseorang dan ternyata orang yang menepuknya juga orang yang pernah mengalami luka bakar sewaktu bekerja di perusahaan minyak.
Meski luka bakar orang tersebut tidak separah dirinya, namun kenyataan hidup orang itu lebih tragis dibandingkan Dwi. Orang tersebut ditinggalkan anak dan istrinya lantaran fisiknya yang tidak lagi sempurna. Bahkan sang istri tidak lagi setia dan mengatakan pada anaknya kalau bapaknya itu sudah meninggal.
Inilah yang membuat Dwi sadar dan ingin lekas kembali pulang untuk menemui anak dan istrinya di rumah. ”Mungkin orang tersebut digunakan Tuhan untuk mengingatkan saya. Saya masih memiliki istri dan anak yang sangat mencintai saya dan menanti kehadiran saya. Disitu saya menangis dan minta ampun kepada Tuhan. Saya berjanji pada Tuhan, sekembalinya saya ke rumah, saya akan lakukan apapun untuk mereka,” tandas Dwi.
Kepulangan Dwi disambut isak tangis Bethania, sang istri. Mereka pun melakukan doa bersama berkomitmen dihadapan Tuhan untuk menghadapi apapun masalah dengan bersama. Mereka yakin dan percaya kalau mereka tidak menghadapinya sendiri melainkan bersama Tuhan.
Sekembalinya Dwi ke rumah, mereka memutuskan untuk mengontrak rumah setelah sebelumnya menumpang bersama mertua di daerah Cimanggis. Dari sinilah Dwi bersama istrinya memulai babak baru dalam kehidupan rumah tangganya. Sambil menunggu datangnya pekerjaan, Dwi dan Bethania tetap aktif melayani Tuhan. Gilbert
Di tengah proses pergulatan keras dalam hidupnya, tetap saja sebagai kepala rumah tangga Dwi masih merindukan kalau dia bisa mempunyai pekerjaan tetap. Pekerjaan menjadi satu pergumulan yang paling utama yang Dwi harapkan dari kemurahan Tuhan. Sepanjang waktu Dwi terus bergumul dalam doa agar kelak suatu waktu nanti Tuhan memberikannya pekerjaan.
Pergumulan Dwi pada Tuhan mengenai pekerjaan, dijawab Tuhan melalui kakak iparnya yang bekerja di asuransi dan menawarkan Dwi untuk bekerja sebagai tenaga marketing yang tugasnya mencari klien. Awalnya Dwi pesimis apakah dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna, dia bisa bekerja sebagai tenaga marketing. ”Saat itu saya berpikir kalau tawaran pekerjaan itu hanyalah tawaran kerja yang sifatnya ejekan karena untuk bekerja sebagai tenaga marketing, penampilan fisik haruslah sempurna dan pandai berbicara serta percaya diri,” kata Dwi.
Sebagai satu-satunya orang yang peduli, Bethania sebagai istri kembali terus meyakinkan Dwi untuk mau mencoba pekerjaan tersebut.
Akhirnya sekitar tahun 2004, Dwi mencoba bekerja sebagai tenaga marketing di asuransi Allianz. Dwi mengaku ketika dirinya masuk dunia marketing, banyak pelajaran yang didapatkannya. Dwi terus belajar tanpa mengenal lelah. Kendati demikian cemoohan tak pernah pupus dari hadapannya. Banyak rekan sekerjanya yang memandangnya sebelah mata karena ketidaksempurnaan fisiknya. Namun Dwi tetap tabah. Suatu keajaiban yang luar biasa terjadi. Dalam tempo 3 bulan, Dwi bisa mendapatkan 45 klien. Mengalahkan orang yang fisiknya jauh lebih sempurna dari dirinya. Sebagai penghargaan atas prestasinya, oleh perusahaan Dwi dinobatkan sebagai The Best Agent dan diberi hadiah laptop.
Bertemu Pengusaha. Seiring dengan berjalannya waktu, karir Dwi di dunia marketing semakin menanjak. Hal ini membuat Dwi merasa harus memberikan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Sambil bekerja di asuransi, Dwi mengambil kuliah di STT Jakarta. Pelayanan dan pekerjaan dilakukan seiring sejalan.
Namun demikian, Dwi merasa belum puas dengan pekerjaan yang dimilikinya. Dalam benak Dwi terfikir bahwa bekerja di dunia marketing adalah bekerja dengan sistem komisi di mana semakin banyak klien semakin banyak income. Itu sebabnya Dwi membutuhkan satu pekerjaan tetap dengan penghasilan tetap. Ini dikarenakan Dwi ingin sekali bisa membahagiakan anak dan istrinya.
Dwi pun kembali bergumul dengan Tuhan dalam doanya untuk mendapatkan status pekerjaan yang baru dengan harapan pekerjaan tersebut lebih baik dari sebelumnya. Doa Dwi kembali dijawab Tuhan. Tahun 2005 ketika Dwi diundang pelayanan oleh temannya Pdt.Yusuf Kawu di Surabaya, Dwi diajak untuk pelayanan di sebuah rumah milik keluarga Harry Tanoesoedibyo di Surabaya. Harry Tanoe sendiri adalah seorang pengusaha terkenal, bos grup MNC. Awalnya Dwi tidak pernah mengetahui siapa pemilik rumah yang akan dikunjunginya itu. Waktu itu ia hanya berprinsip, kemana Tuhan menuntunnya untuk melayani, maka di situ juga ia akan melangkah dan melakukan yang terbaik, semuanya demi kemuliaan dan kebesaran nama Tuhan.
Di rumah itu Dwi kembali memberikan kesaksian akan jalan hidup yang selama ini dijalaninya. Setelah menuturkan kesaksiannya, ternyata si empunya rumah yang tak lain adalah Harry Tanoesoedibyo tertarik dengan kisah hidup Dwi. Harry yang juga pemilik tiga stasiun TV ini mengutarakan bahwa kisah hidup Dwi bagus untuk dijadikan cerita sinetron. Ketika mendapatkan tawaran itu, Dwi hanya tersenyum. ”Saya hanya tersenyum karena, yang pertama saya tidak kenal siapa pak Harry. Yang kedua, saya sudah terlalu bosan dengan janji manis yang diberikan orang kepada saya. Itulah yang membuat saya tidak terlalu banyak berharap kala itu,” kata Dwi.
Sebelum kembali ke Jakarta, Dwi sempat bertukar nomor telepon dengan Harry Tanoe. Tapi tak disangka, satu hari setibanya Dwi di Jakarta, ia mendapat panggilan untuk menghadap Harry di kantornya di lantai 28 Gedung Bimantara, Jakarta Pusat. Hal ini membuatnya sangat terkejut karena ternyata perkataan Harry yang tadinya tidak begitu diharapkan, ternyata menjadi kenyataan dengan diproduksinya sinetron yang mengisahkan perjalanan hidup Dwi. Sinetron tersebut dibintangi oleh Marcellino Lefrand dan Amara ”Lingua”. Proses syuting pun berjalan hingga sinetron tersebut diputar di RCTI dengan judul ”Bawa Aku Terbang” pada tahun 2005. Tahun 2006 kembali diputar di RCTI untuk memperingati hari Paskah. Satu hal yang luar biasa dialami lagi oleh Dwi, kebaikan demi kebaikan terus menghampirinya, di mana ketika itu Harry Tanoe juga memberikannya kesempatan untuk bekerja di Harian SINDO (Seputar Indonesia) sebagai koordinator marketing iklan dan sirkulasi.
Sebelum bekerja di Sindo, Harry sempat berpesan agar Dwi jangan pernah sekali-kali meninggalkan pelayanan Tuhan. Hal itu pula yang membuat Dwi sangat berterimakasih pada Tuhan. ”Saya yakin apa yang saya capai saat ini semua karena campur tangan dan pertolongan dari Tuhan,” tegas Dwi dengan penuh iman. Gilbert
Pdt. Supiter Panjaitan (Gembala Jemaat GBI Pekayon)
Tuhan Punya Rencana Indah untuk Setiap Hamba-Nya
Peristiwa kehidupan yang dialami Dwi Krismawan, merupakan satu kenyataan hidup yang terbilang tragis, di mana dalam sekejap Dwi harus kehilangan cita-cita dan masa depan yang sudah sekian lama diimpikannya. Wajar sebagai manusia biasa Dwi mengalami siklus kehidupan yang naik turun, termasuk kepercayaannya kepada sang pencipta juga sempat menjadi bimbang. Hal ini dikarenakan banyak orang disekitarnya selalu memandangnya dengan sebelah mata.
Perjalanan hidup Dwi selama ini, seperti tertulis dalam kitab Yesaya 55:8-9. ”Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu dan jalanmu bukanlah jalanKu demikianlah firman Tuhan.” ”Seperti tingginya langit dari bumi demikianlah juga tingginya jalanKu dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu.”
Melalui permasalahan yang ada, Tuhan ingin mengubah karakter setiap hamba yang dikasihiNya, dengan harapan supaya menjadi manusia yang lebih dewasa secara Rohani. Di balik kegagalan manusia, Tuhan sedang menyiapkan satu rencana yang sangat indah. Di balik keadaan yang baik sekalipun Tuhan senantiasa mengasihi kita. ”Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, dan itu adalah rancangan yang damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, dengan memberikan padamu hari depan yang penuh harapan.”
Seringkali manusia memiliki satu rencana, tapi jangan pernah berpikir kalau itu adalah yang terbaik buat kita. Segalanya harus dikembalikan pada Tuhan karena sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan, apa saja bisa terjadi diluar dugaan dan kemampuan kita. Namun percayalah, lewat proses panjang, Tuhan membuat kita belajar untuk mengerti. Dan segala rencanaNya yang sangat indah, nyata buat setiap hambaNya yang dikasihi. Gilbert
Tidak ada komentar:
Posting Komentar