Menciptakan Lagu Religi Berdasarkan Pengalaman Hidupnya yang Kelam
Pada awalnya, kepergian Pasha ke Jakarta adalah untuk melanjutkan sekolah. Namun siapa sangka di kota Jakartalah nasib Pasha ditentukan. Jatuh bangun kehidupan harus dilaluinya. Terjerat narkoba hingga menjadi pengamen juga harus dilakoninya. Bagaimana kisah perjalanan hidup Pasha hingga bisa lepas dari jeratan narkoba dan sukses sebagai penyanyi seperti saat ini?
“Cari siapa Om?” tanya seorang bocah polos yang siang itu tengah asyik bermain di teras depan rumahnya ketika melihat kedatangan Realita. Sejurus kemudian bocah tersebut langsung berteriak, “Ayah ada tamu,” sambil bergegas masuk ke dalam rumah menghampiri sang ayah. Bocah berusia tiga tahun itu tak lain adalah Kiesha Putra Alvaro Sigit, putra sulung Pasha “Ungu”. Tak lama berselang, Pasha yang kala itu mengenakan sarung dan T-shirt putih, menghampiri Realita dan mempersilahkan masuk.
Sambil memangku si sulung dan menikmati secangkir kopi, pria yang bernama asli Sigit Purnomo Syamsuddin Said ini pun mulai bercerita tentang perjalanan hidupnya dalam meniti karir.
Cerita bermula pada saat Pasha lulus dari SMA Negeri Donggala Sulawesi Tengah pada tahun 1997. Waktu itu Pasha memutuskan merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pasha memang memiliki keinginan untuk bisa kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun Pasha akhirnya mengurungkan niat itu setelah mendengar banyak informasi yang mengatakan bahwa jika kuliah di IKJ itu membutuhkan mental yang kuat. Karena nantinya setiap mahasiswa yang baru masuk akan digojlok habis-habisan oleh seniornya. Hal itulah rupanya yang membuat mental Pasha langsung down. Maklum saja saat itu Pasha masih termasuk orang yang lugu dan belum siap menghadapi hal tersebut.
Batal kuliah di IKJ ternyata Pasha memilih jalur kuliah yang aman yaitu di ABA-ABI, Menteng-Cikini, Jakarta Pusat. Kebetulan ketika di SMA, Pasha juga mengambil jurusan bahasa. Sedikit banyak kuliahnya tersebut masih berhubungan dengan masa SMAnya dulu.
Selama kuliah di Jakarta, Pasha tinggal di satu rumah kost di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat. Banyak juga mahasiswa lainnya yang menempati kost tersebut. Selain letaknya yang strategis, rumah kostnya itu juga dekat dengan kampus. Menurut Pasha, lingkungan tempat tinggal kostnya itu memang terbilang sangat rawan dan rentan sekali dengan yang namanya kejahatan, mulai dari minum-minuman keras sampai kepada ancaman bahaya narkoba.
Sebagai anak perantauan yang mempunyai banyak mimpi, tentu saja Pasha tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah bersusah payah membiayai kuliah. Pasha tetap pada tujuan awal yaitu melanjutkan pendidikan hingga selesai. Pasha sendiri sudah ditanamkan pendidikan agama oleh orang tuanya saat di Donggala. Diharapkan modal pendidikan agama ini bisa membentengi Pasha dari hiruk pikuk kehidupan kota Jakarta yang terbilang rawan.
Mulai Kecanduan Narkoba. Awalnya, Pasha memang tidak terpengaruh akan gaya hidup muda-mudi di kota Jakarta. Namun lama kelamaan benteng pertahanan Pasha mulai goyah. Apalagi lingkungan tempat tinggal kost Pasha saat itu, sangat banyak berperan dalam memberikan perubahan yang luar biasa dalam dirinya. Pasha yang tadinya dikenal sebagai sosok pendiam berubah menjadi sosok yang gaul dan memiliki banyak teman. Sayangnya Pasha justru terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Pergaulan tersebut menjerat Pasha masuk ke dalam lingkaran orang-orang pemakai narkoba.
Selama kurun waktu lima tahun (1997-2002) Pasha terjerembab dalam lingkaran hitam yang membuat cita-cita dan angannya hancur seketika. ”Awalnya gue memang coba-coba karena ditawari sama teman gue. Karena perasaan nggak enak, akhirnya gue terima tawaran tersebut. Tapi lama kelamaan tanpa disadari, gue juga ikut hanyut dan menikmati barang haram tersebut,” tutur Pasha.
Seiring dengan berjalannya waktu, semakin hari Pasha semakin asyik dalam dunianya. Berbagai jenis narkoba mulai dari yang berjenis pil sampai dengan hisap seperti ganja, putaw, hingga shabu-shabu pernah menjadi konsumsi rutin Pasha sehari-hari.
Melupakan Tuhan. Pasha yang tadinya taat beragama, selama lima tahun masuk dalam lingkaran setan, akhirnya lupa akan segalanya, termasuk dalam hal beribadah. Padahal dahulu ketika masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Donggala, Pasha tidak pernah satu kalipun meninggalkan shalat lima waktu. Pasalnya, untuk urusan agama, kedua orang tua Pasha sangat ketat. Sejak kecil, Pasha dan kesembilan saudaranya yang lain sudah ditanamkan nilai agama yang kuat.
Kewajibannya sebagai mahasiswa juga terabaikan. Pasha sering bolos kuliah dan lebih mementingkan bergaul ketimbang mengikuti jam kuliah. Hingga akhirnya Pasha harus putus kuliah.”Jujur saja, kenikmatan narkoba memang membuat gue rusak dan lupa akan segalanya. Yang lebih parahnya lagi, hubungan gue dengan sang Khalik juga jadi ikutan rusak. Bisa dibilang waktu itu gue memang telah benar-benar melupakan Tuhan. Hubungan gue sama orang tua selama gue tinggal di Jakarta juga menjadi lost contact. Soalnya bokap gue itu sangat percaya dengan apa yang gue lakukan di Jakarta,” ujar Pasha yang pernah menyabet gelar juara II dalam lomba Adzan se-Sulawesi Tengah.
Selama tinggal di Jakarta, setiap bulannya Pasha memang selalu rutin dikirimi uang oleh orang tuanya yang bekerja sebagai wiraswasta di Donggala. Namun uang kiriman tersebut habis tidak jelas juntrungannya. Selain untuk membeli narkoba, Pasha juga sering menghambur-hamburkan uang kiriman orang tuanya. Alhasil, uang bulanan yang rutin dikirim selalu tidak cukup. Malu jika harus terus meminta dari orang tua, Pasha pun mulai mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya yaitu menyanyi.
Jadi Pengamen. Setiap hari selama tinggal di Jakarta yang dilakukan Pasha hanyalah mengkonsumsi narkoba. Pada waktu itu Pasha lebih mementingkan mengkonsumsi narkoba daripada makan. Bayangkan saja, ketika bangun pagi, yang dicarinya bukan sepiring nasi untuk sarapan pagi, tetapi serbuk shabu, putaw, atau lintingan ganja. Begitu juga saat siang maupun menjelang malam hingga paginya lagi. ”Pokoknya, dimana ada kesempatan, di situ gue akan memakai narkoba,” ungkap Pasha.
Bersama dengan teman-teman gaulnya waktu itu, untuk mendapatkan uang Pasha mulai mengamen di kawasan Blok M dan Manggarai. Hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk nongkrong bersama teman-temannya di terminal Manggarai. Di sana Pasha memang banyak mendapatkan teman. Sehingga kalau untuk urusan makan, Pasha hanya tinggal mengandalkan teman-temannya yang berdagang di terminal Manggarai tersebut walau harus mengutang. ”Kalau sekarang gue lihat anak-anak nongkrong di Manggarai, gue suka terharu karena mengingat masa lalu gue yang suram,” ujar Pasha.
Uang yang didapatkan Pasha dari hasil mengamen pada waktu itu memang cukup untuk sekadar makan, dan selebihnya tentu saja digunakan untuk membeli narkoba. Selain mengamen di siang hari, di malam hari sesekali Pasha juga mulai menyanyi di kafe-kafe. Kebutuhan Pasha akan narkoba semakin hari semakin tidak terbendung. Ini membuat kondisi perekonomiannya kian hari kian terperosok. Sampai pada suatu ketika, Pasha harus hengkang dari tempat kostnya di kawasan Gondangdia Menteng Jakarta Pusat, karena sudah tidak sanggup lagi untuk membayar. Untungnya, meski hidup tak jelas dan serba kekurangan, tidak sampai membuat Pasha bertindak brutal dan berurusan dengan polisi.
Karena tidak punya satu pun sanak saudara di Jakarta, demi keberlangsungan hidupnya, Pasha tinggal bak kutu loncat dari rumah satu temannnya ke teman yang lain lagi. ”Di mana ada teman yang bisa kasih gue makan, disitu gue akan tinggal. Gue pernah tinggal di daerah Kalimalang, Utankayu, Pramuka, Minangkabau-Sahardjo, rumah susun Pulomas, dan Menteng Atas. Gue tinggal muter-muter secara bergantian. Yang jelas waktu itu hidup gue serabutan banget,” kata putra kelima dari sepuluh bersaudara pasangan H. Syamsuddin Said dan Andi Bumbeng ini.
Mulai Menjadi Vokalis. Sejak sering mengamen, Pasha punya banyak teman yang memiliki hobi sama yaitu bermusik. Selain asyik bergumul dengan narkoba Pasha juga asyik dengan hobinya bermain musik. Dari hobi bermain musiknya itu Pasha kemudian diajak menjadi vokalis grup band Nuansa oleh temannya.
Setahun bergabung dengan Nuansa band, Pasha berhasil mengeluarkan sebuah master rekaman album perdananya. Tapi sayang, karena berbagai hambatan, album tersebut tak berhasil ditelurkan. Namun ternyata, sosok Pasha mengundang perhatian dari pentolan band Ungu saat itu, yaitu Makki dan Eki. Pasha pun kemudian diajak bergabung untuk bermain bersama Ungu. “Jujur saja saat itu gue agak bimbang. Karena gue sudah punya band ditambah lagi dengan sudah adanya master rekaman. Sementara kalau di Ungu, gue harus mulai lagi dari awal. Apalagi saat itu gue juga sudah menelantarkan kuliah,” imbuh Pasha.
Setelah mendengar kata hatinya sendiri, Pasha akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan grup band Ungu pada tahun 1999. Perjalanan panjang bersama Ungu pun dimulai dan ternyata membuahkan hasil. Setelah banyak terjadi pergantian personel, Ungu juga dipercaya untuk membuat album kompilasi. Barulah pada tahun 2002, Ungu mengeluarkan album pertamanya.
“Setelah gue mulai mapan di jalur musik, baru gue bilang ke orang tua kalau sebenarnya gue sudah nggak kuliah lagi. Untungnya, mereka bisa menerima karena kondisi gue saat itu sudah ada kerjaan,” tutur pria kelahiran Donggala 27 November 1979 ini. Selama berlatih di studio musik, Pasha bertemu dengan Enda (gitaris Ungu). Karena merasa sama-sama anak perantauan dari Sulawesi, maka keduanya pun terbilang cepat akrab. “Mungkin karena kita berasal dari satu daerah, jadi kita merasa lebih cocok aja,” urai Pasha.
Keduanya pun akhirnya memanfaatkan bakat musik mereka ke hal yang positif. Sambil mengasah keahliannya, mereka mencari tambahan uang saku dengan mengamen di atas bus jurusan Blok M, Pulo Gadung, dan Manggarai. Hasilnya terbilang lumayan untuk tambah-tambah biaya hidup. Sehari mereka bisa mendapatkan uang Rp 50-80 ribu. “Awalnya memang iseng. Maklum sebagai anak rantau yang coba datang ke ibukota, kita hanya mempunyai uang seadanya. Ternyata hasil yang didapatkan dari ngamen cukup buat kita berdua,” kenang Pasha sambil tersenyum.
Mulai Tersadar. Merasa lelah dan jenuh dengan keadaan yang dilakukan sepanjang hari selama lima tahun. Membuat Pasha berpikir dan introspeksi berulang kali atas kehidupan yang statis dan tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. ”Sampai pada satu titik, entah kenapa hari itu gue merasa jenuh banget dengan keadaan yang gue jalani. Gue merasa capek dengan apa yang terjadi sama gue. Sampai membuat gue nggak bisa tidur selama beberapa hari,” cerita Pasha.
Selain merasa jenuh, yang ada didalam pikiran Pasha kala itu adalah, hidup di Jakarta hanya ada dua pilihan. Kalau mau jadi orang yang bener harus bener sekalian. Dan kalau mau jadi orang yang hancur, harus hancur sekalian, tidak ada kata setengah-setengah. Keyakinan itulah yang terus terpatri dalam pikirannya.
Sebagai langkah awal, secara perlahan tapi pasti Pasha mulai meninggalkan pergaulan dan lingkungan kehidupan narkoba. Pasha pun mulai mencari pergaulan yang lebih sehat. Tentu saja hal itu tidak gampang untuk dilakukan. Pasha harus rela menerima ejekan dari teman-temannya yang mengatakan bahwa dirinya sok suci atau ejekan lainya yang terkadang membuatnya kesal. Tapi apa boleh dikata, demi satu perubahan ke arah yang lebih baik, semua itu diterima Pasha daripada harus hidup merana sepanjang waktu.
Niat Pasha waktu itu hanya satu yaitu hidup untuk berubah dan berubah untuk hidup setelah menelantarkan kuliahnya. Pasha pun siap untuk menghadapi kondisi apapun termasuk siap menghadapi sang ayah yang pasti akan sangat kecewa jika mengetahui perbuatannya selama ini. ”Dalam bayangan gue waktu itu bokap gue pasti marah besar dengan apa yang telah gue lakukan. Jadi, apapun yang akan bokap gue lakukan sama gue akan gue terima dengan pasrah. Wajar kalau bokap gue marah karena gue juga sudah menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan,” tutur ayah dari Keisha Alvaro Putra Sigit (3) dan Shakiena Azalea Putrina Pasha (11 bulan) ini.
Tapi untunglah sang ayah H. Syamsuddin Said, adalah seorang ayah yang sangat terbuka dan demokratis terhadap anaknya. Meski sedikit kecewa setelah mengetahui kelakukan Pasha, tetapi tak sedikitpun ia marah terhadap Pasha. Sang ayah memaafkan segala kelakuan Pasha. Satu hal yang diingatnya dari wejangan yang diberikan sang ayah adalah, ”apa yang sudah kamu perbuat, mau tidak mau baik buruknya nanti akan ada risiko yang harus ditanggung.”
Setelah bertobat, Pasha menjadi takut kalau harus mengingat masa lalunya yang sangat kelam. ”Bahkan kalau waktu diputar kembali, jujur gue nggak punya keberanian untuk melewati masa itu lagi. Karena saat itu gue benar-benar kehilangan arah. Bayangkan saja, ketika bangun pagi gue nggak tahu apa yang harus gue perbuat untuk memulai hari dengan sesuatu yang baik. Yang gue ingat hanya narkoba dan narkoba lagi,” urai Pasha. Gilbert
Setelah lepas dari jeratan narkoba di tahun 2002, pada 2 Agustus 2003 Pasha pun menikah dengan seorang dara cantik, Okie Agustina Sofyan. Pertemuannya dengan Okie tak lepas dari jasa Sigit ‘Base Jam’. Ceritanya waktu itu pada Februari 2003, di sebuah acara di Bogor, Sigit memperkenalkan Pasha dengan temannya, Okie.
Perkenalan singkat itu menyisakan kenangan tersendiri di hati mereka berdua. Pertemuan tak sengaja pun terjadi kembali di sebuah acara nonton bareng yang disponsori sebuah majalah remaja. Keduanya pun bertukar nomor telepon. Merasa cocok satu sama lain, Pasha pun tak berlama-lama berpacaran. Dua bulan merajut tali kasih, Pasha langsung mengajak Okie menikah. Tentu saja hal ini membuat Okie terkaget-kaget. Selain ketika itu usianya yang masih sangat muda, saat itu Ungu juga belum semapan seperti sekarang. Namun karena tekad Pasha yang begitu besar untuk menikahi Okie, lamaran pun akhirnya terjadi pada tanggal 14 Juni 2003. Prosesnya memang serba kilat. Perkawinan mereka pun kini telah dikaruniai dua orang anak, putra dan putri. Gilbert
Merasakan Manfaat Sedekah
Pasha mengaku kalau selama ini ia belum menjalankan segala sesuatunya dengan baik. Setiap hari ada saja perubahan yang terus dilakukannya untuk mendapatkan yang lebih baik. Baginya, menjalankan shalat lima waktu saja bukan jaminan penuh untuk bisa menjadi penghuni surga. Semua itu akan menjadi sia-sia kalau di dalam hati kita sebagai manusia masih tersimpan rasa keangkuhan dan kemunafikan.
Untuk melengkapi rasa keingintahuannya akan sesuatu yang sifatnya religius, Pasha banyak belajar arti hidup dengan membaca buku-buku rohani di antaranya seperti Paradigma Quran (Amin Suma wijaya, S.Ag), Meraih Kebahagiaan Sejati, Jalan Hidup Para Nabi dan Orang Suci (Al-allamah, Abdullah Al hadad), Kisah Teladan 25 Nabi dan Rasul (Dra, Munawaroh), Benarkah Isa dan Dajal Akan Turun? Menyingkap Fenomena Hari Kiamat yang Sesungguhnya (H. Subhan Nurdin), Dajjal akan Muncul dari Segitiga Bermuda (Muhammad Isa Dawud), dan Dialog Antara Jin Muslim dan Manusia.
Pasha mengaku dengan begitu, setiap harinya ia bisa memberikan yang terbaik dalam hidup baik terhadap sesama, lingkungan keluarga, pekerjaan, dan masyarakat. ”Gue akui dengan banyak membaca buku rohani, banyak hal dan pengetahuan serta hikmah yang gue dapat untuk menjalani kehidupan ini,” tandas Pasha.
Selain dari buku, Pasha juga banyak belajar dari teman-teman kelompok pengajiannya yang hampir sebulan sekali diadakan di kediamannya.
Menunaikan Ibadah Umroh. Setelah sukses dengan karir bermusiknya, dalam waktu dekat ini Pasha bersama sang istri, Okie Agustina bernazar untuk melakukan ibadah umroh bersama dengan anggota personel Ungu lainnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk syukur atas berkat dan rahmat yang telah dilimpahkanNya.
Banyak hal lain yang dilakukan Pasha dalam mensyukuri nikmat yang telah didapatkannya. Selain berumroh, Pasha juga rutin menyedekahkan 2,5% dari pendapatannya. Pasha juga sering menyantuni beberapa yayasan anak yatim piatu di daerah Bogor di dekat kediamannya. ”Buat gue, ilmu sedekah itu sangat terasa pengaruhnya. Jika 2,5 % itu tidak dikeluarkan, maka itu akan diambil secara paksa. Entah itu lewat sakit kecelakaan atau masalah lainnya,” ujar Pasha.
Yang jelas, sedekah yang awalnya sering dianggap remeh, diakui Pasha sebenarnya bisa menghasilkan sesuatu yang besar buat dirinya sendiri. Insyaallah Allah akan membalasnya dengan berlipat ganda. Gilbert
Dosa itu Seperti Rekening Tabungan
Lirik lagu Andai Kutahu yang diciptakan Pasha sepertinya merupakan gambaran jiwa Pasha jika ia teringat akan masa lalunya yang kelam. Secara pribadi, diakui Pasha bahwa jika ditanya sampai kapanpun ia tidak akan pernah siap menghadapi kematian karena begitu banyaknya dosa yang telah ia perbuat.
”Karena buat gue dosa itu seperti rekening. Sedikit atau banyak kita akan menyetor ke situ. Jadi kalau diibaratkan timbangan, timbangan dosa ini akan terus menekan ke bawah sementara timbangan pahala kita akan terus terangkat keatas. Karena buat dosa itu gampang, sementara kalau pahala susah banget. Dari omongan saja kita sudah bisa berbuat dosa,” papar Pasha.
Lagu Andai Kutahu ternyata juga berdampak positif bagi masyarakat luas. Dalam setiap rangkaian tournya di setiap kota ataupun daerah, banyak orang yang menyatakan pertobatannya, baik dalam urusan rumah tangga, hubungan orang tua dan anak, hubungan suami istri dan terlebih penting lagi hubungan dengan sang Pencipta. Semua itu diketahui Pasha dari pengakuan setiap orang, baik dari kalangan orang biasa maupun pada tingkat pejabat setempat setelah terus menerus merenungi dan mendengar arti kata dari lagu Andai Kutahu ataupun lagu religius lainnya dalam album Ungu. Gilbert
Tidak ada komentar:
Posting Komentar